Rabu, 27 Mei 2015

Pemimpin yang Seharusnya Menurut Filosofi Jawa
KONSEP hasthabrata muncul dalam cerita pewayangan Jawa dengan lakon 'Iwahyu Makutharama' yang mengisahkan tentang pemberian wejangan (fatwa) seorang Pandita bernama Wiswamitra yang ditujukan kepada Sri Rama yang akan dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya.
Konon, ajaran hasthabrata tersebut selalu dipedomani untuk dijadikan fatwa terhadapputra mahkota yang akan dinobatkan menjadi raja-raja Jawa. Hasthabrata terdiri dari kata hastha yang berarti delapan dan kata brata yang berarti sifat baik.
Brata yang pertama adalah SURYA yang berarti matahari. Sifat menerangi yang dimiliki oleh matahari dalam bahasa jawa dimaknai sebagai 'gawe pepadang marang ruwet rentenging liyan'yang berarti harus mampu membantu mengatasi kesulitan atau memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh anak buahnya.
Brata yang kedua adalah BAWANA yang berarti bumi. Bumi diibaratkan sebagai ibu pertiwi. Sebagai ibu pertiwi, bumi memiliki peran sebagai ibu, yang memiliki sifat keibuan, yang harus memelihara dan menjadi pengasuh, pemomong, dan pengayom bagi makhluk yang hidup di bumi. Implementasinya adalah kalau sanggup menjadi pemimpin harus mampu mengayomidan melindungi anak buahnya.
Brata yang ketiga adalah CANDRA yang berarti bulan. Implementasinya bagi pemimpin ialah pemimpin dalam memperlakukan anak buahnya harus dilandasi oleh aspek-aspek sosio-emosional. Pemimpin harus memperhatikan harkat dan mertabat pengikutnya sebagai sesama. Terhadap pengikutnya harus menghormati sebagai sesama manusia. Dalam konsep Jawa hal ini disebut 'nguwongke'.
Brata keempat adalah KARTIKA yang berarti bintang. Bintang dapat menggambarkan dambaan cita-cita, tumpuan harapan, sumber inspirasi. Seorang pemimpin harus memiliki cita-cita yang tinggi, berpandangan jauh kedepan, pemberi arah, sumber inspirasi, dan tumpuan harapan.
Brata yang kelima adalah TIRTA yang berarti air. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan siapapun termasuk pengikutnya (adaptif). Air selalu mengalir ke bawah, artinya pemimpin harus memperhatikan potensi, kebutuhan dan kepentingan pengikutnya, bukan mengikuti kebutuhan atasannya.
Brata yang keenam adalah MARUTA, yang berarti angin. Secara alami angin memiliki sifat menyejukkan, angin membuat segar bagi orang yang kepanasan. Angin sifatnya sangat lembut. Seorang pemimpin harus bisa membuat suasana kepemimpinan sejuk, harmonis, dan menyegarkan.
Brata yang ketujuh adalah DAHANA, yang berarti api. Secara alami, api memiliki sifat panas, dan dapat membakar. Seorang pemimpim memiliki sifat pembakar semangat, pengobar semangat, dan memiliki peran sebagai motivator dan inovator bagi pengikutnya.
Brata yang kedelapan adalah SAMODRA, yang berarti lautan atau samudra. Pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam samudra. Samudra juga bersifat menampung seluruh air dan benda-benda yang mengalir kearah laut. Seorang pemimpin harus memiliki sifat menampung semua kebutuhan, kepentingan, dan isi hati dari pengikutnya, serta pemimpin harus bersifat aspiratif.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai, agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah: Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh.
Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
disalin dari:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/10/02/654/Pemimpin-yang-Seharusnya-Menurut-Filosofi-Jawa
Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, lan Ojo Dumeh
Pandangan sekaligus panduan masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang mudah diucapkan namun sulit melaksanakannya. Kita pada umumnya cenderung memiliki ego, harga diri, emosi, dan rasa ingin tahu yang tinggi yang menyulitkan kita untuk menerapkan nilai filosofi tersebut. Di balik setiap budaya di Indonesia pasti terkandung nilai-nilai kebijaksanaan lokal, termasuk di antaranya budaya Jawa. Budaya Jawa yang sebagai salah satu budaya yang tertua di tanah air ini, juga mempunyai berbagai pepatah dan idiom yang berasal dari warisan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Salah satunya yang paling tepat dengan kondisi sekarang ini adalah ungkapan “kuno” dari khasanah budaya Jawa,ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh.
Ojo gumunan, berasal dari kata ojo yang artinya jangan, dan gumunan, yang berasal dari katagumun yang artinya heran. Ojo gumunan adalah bentuk larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan perkembangan keadaan dan peristiwa atau benda yang terutama bersifat materi dan keduniawian. Masyarakat kita sekarang ini mudah sekali untuk gumun atau kagum terutama dengan berbagai bentuk pemberitaan atau tayangan melalui media massa. Kita juga gumun melihat kecanggihan teknologi negara lain, bahkan kemajuan ekonomi negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura. Bentuk kegumunan dan kekaguman ini sayangnya hanya sebatas gumun. Sebagian besar dari kita hanya menjadi penonton, berdiri di pinggir, bertepuk tangan, kadangmisuh (memaki) dan mengumpat, tanpa pernah bisa ikut menentukan hasil akhir.
Filsafat Jawa ojo gumunan, bermakna janganlah kita selalu terkagum-kagum dengan hasil orang lain sedangkan kita hanya sekedar menjadi penonton. Ojo gumunan juga bermakna kita harus selalu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan keaadan dan perubahan keadaan sekitar. Kita harus menjadi subjek dan bukan sekedar objek.
Filosofi ojo kedua adalah ojo kagetan. Makna harfiah dari ojo kagetan ini adalah jangan mudah kaget. Suka terkaget-kaget kah kita? Jawaban sebagian besar dari kita pasti YA!. Akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa di negeri nusantara ini yang membuat seluruh penduduknya terkaget-kaget, baik peristiwa yang ditimbulkan oleh perseorangan, badan dan lembaga, juga yang lebih aneh lagi adalah pemerintah juga hobby membuat rakyatnya selalu terkaget-kaget dengan aneka kebijakan yang kemudian ditarik lagi atau tidak jelas implementasinya. Kita terkaget-kaget tatkala KPK tiba-tiba menangkap jaksa dan penyuapnya, juga terkaget-kaget ketika seorang anggota DPR terlibat dalam transaksi penyuapan bahkan video porno. Kita juga kaget ketika tanpa alasan tarif jalan tol tiba-tiba naik, bahkan harga cabe dan bawang putih juga melambung, dan semua alasannya karena BBM naik.
Filosofi ojo kagetan bermakna kita harus mawas diri terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita. Ojo kagetan juga bermakna persiapan diri sendiri menghadapi perubahan sekeliling tanpa ikut berubah seperti sekeliling. Kalau kita sadar bahwa kita hidup di negeri yang serba ajaib dan aneh seperti Indonesia, maka seharusnya kita juga selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Dengan tidak terkaget-kaget terhadap kejutan-kejutan di sekeliling kita, kita akan lebih tegar dan sumeleh hidup di Indonesia.
Ojo Kagetan merupakan panduan agar kita selalu membabar terlebih dahulu terhadap segala yang terjadi. Analisis terlebih dahulu dari setiap masalah, baru tentukan strategi dan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita masih mentah dan tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya. Tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa 'sak dheg sak nyet' ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif disekeliling kita.
Ojo terakhir adalah ojo dumeh. Dumeh bermakna mentang-mentang atau sombong. Ojo dumehartinya janganlah kita sombong dalam menghadapi lingkungan disekeliling kita. Sombongkah kita? Hanya orang lain dan bangsa lain yang bisa menilai bangsa kita ini dumeh atau tidak. Tapi sadar atau tidak, kesombongan ini sebenarnya juga kita jumpai dari perilaku kita sehari-hari. Dumehatau mentang-mentang kita kaya, dengan seenaknya kita menghambur-hamburkan uang untuk belanja secara konsumtif di mall-mall mewah. Dumeh bisa membayar, kita menggunakan listrik dan BBM secara berlebihan dan hanya untuk konsumtif. Dumeh lebih pandai dari rata-rata rakyat Indonesia, kita melakukan pembodohan secara terus menerus dengan informasi-informasi yang membingungkan dan menyesatkan. Dumeh menjadi rakyat kecil, dengan seenaknya kita hanya bisa mengkritik dan mencaci maki para pimpinan, meski mereka kadang benar sekali pun.
Ojo dumeh adalah salah satu ajaran dasar leluhur kita untuk selalu melakukan introspeksi diri terhadap lingkungan, sesama manusia, dan juga kepada Sang Pencipta. Dengan tidak dumeh, maka kehidupan sebenarnya akan lebih baik dan lebih tentram. Ojo dumeh merupakan larangan agar kita jangan bersikap sombong, pamer mengenai segala sesuatu yang kita miliki. Seharusnya kita bersikap andap asor mring sapodho, atau bersikap rendah hati terhadap sesama. Segala yang kita miliki baik itu harta, jabatan, pengetahuan, maupun istri, anak, sanak saudara, ini hanyalah sementara, dan titipan dari Yang Maha Kuasa. Kita diamanahkan untuk mengamalkannya agar menjadi milik kita yang hakiki kelak di alam sesudah kita meninggalkan dunia fana ini.
disalin dari: 
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/04/16/640/Ojo-Gumunan-Ojo-Kagetan-lan-Ojo-Dumeh